Soal :
1. Kemukakan gambaran manusia seutuhnya, kemudian bagaimana
peranan pendidikan?
2. Baca pengertian pendidikan dalam Undang-Undang tentang sistem
pendidikan No. 20 tahun 2003, kemudian bahas (boleh dikritisi) pengertian
pendidikan tersebut sesuai dengan gambaran manusia Indonesia seutuhnya.
Jawab :
1.1 Gambaran Manusia Seutuhnya
A. Konsepsi Manusia Seutuhnya
Konsepsi manusia seutuhnya merupakan konsepsi ideal kemanusiaan
yang terletak pada pengertian kemandiriannya, bahwa manusia dengan keutuhan
unsur-unsurnya akan memiliki nilai diri yang spesifik. Kemandirian bukan
berarti menyendiri atau serba sendiri.
Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun
nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam
kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat
terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah
kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas.
Berdasarkan observasi empirik atas unsur-unsur pembentuknya,
deskripsi ringkas upaya pembentukan manusia seutuhnya dapat dikemukakan sebagai
berikut :
Secara fisik manusia ditunjukkan oleh kebadanannya, yaitu tubuh
dari kehidupannya. Badan hidup ini bersifat khas dan berbeda dari tumbuhan
maunpun binatang karena memiliki kesadaran dan kemampuan berfikir dalam bentuk
penalaran rasional dan emosional. Dengan hidup dan penalarannya manusia tidak
menjadi individualis yang mengisolasi diri, melainkan membangun kemampuannya
untuk berkomunikasi dengan lingkungan alam, kehidupan dan kemanusiaannya membentuk masyarakat kemanusiaan. Masyarakat manusia ini ternyata
kemudian mampu membangun tatakrama
etika peradabannya. Raihan atas nilai luhur etika ini menempatkan manusia pada
posisi terhormat dalam lingkungannya, sesuai dengan hidayah yang Maha Kuasa
mampu meraih takwa, menyadari keberadaannya sebagai khalifatullah fil ardhi.
Kebalikan dari upaya pembentukan unsur keutuhan kemanusiaan di
atas, dapat dikemukakan dalam deskripsi pengamatan empiris pemberian nilai
kemanusiaan yang seutuhnya sebagai berikut :
Pancaran cahaya ketakwaan seseorang nampak dari wajah dan tubuhnya
sehingga mampu ditangkap dan mempertemukannya dengan manusia yang bertakwa
pula. Selanjutnya diungkapkan pula dalam kenyataan nilai etika seseorang
sebagai moralitas tatakrama dan sopan santunnya yang membuka jalan bagi dirinya
untuk melakukan komunikasi dan pergaulan di dalam masyarakat. Lebih lanjut keberhasilan berkomunikasi akan membuka jalan
bagi dirinya untuk bertukar pikiran membahas pengertian tentang sesuatu sesuai
dengan tingkat penalarannya. Bila berhasil dicapai kesefahaman maka sesuatu
yang dibahas ini akan menjadi bentuk nyata kegiatan fisik, wahana kerja sama
dan terapan iptek.
Dari penjelasan diatas, maka manusia seutuhnya adalah
manusia yang memiliki ketiga potensi, baik akal, jasmani maupun kerohanian
yang seimbang. Mengapa demikian? Karena dengan seimbangnya ketiga potensi
tersebut, seorang manusia akan menjadi manusia seutuhnya yang tidak timpang.
Sebagai contoh, jika ada seseorang yang hanya maksimal pada potensi akal dan
jasmani saja tanpa didukung potensi kerohanian, maka bisa dibayangkan
karakter yang nantinya terbentuk dalam pribadi orang tersebut seperti apa.
Orang-orang Indonesia banyak yang pandai. Namun, karena
tidak dibekali dengan potensi kerohanian yang maksimal, maka kepandaian yang ia
miliki dapat disalahgunakan menuju ke hal-hal yang bertentangan dengan pemahaman
agama. Kalau saja orang tersebut memiliki pemahaman agama yang baik, maka
tentu saja orang itu akan berpikir panjang untuk melakukan sesuatu hal dan
akan terbayang akan akibat-akibat yang ditimbulkan jika ia melakukan
perbuatan tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh agama mereka
masing-masing.
Begitu pula sebaliknya, jika manusia hanya memiliki salah
satu atau dua dari masing-masing potensi tadi, hal itu tidak dapat menjadikan
seorang manusia menjadi manusia seutuhnya. Oleh karena itu, ketiga potensi
manusia tadi, baik potensi akal, jasmani maupun rohani harus dimaksimalkan,
tidak timpang atau cenderung maksimal kepada satu atau beberapa potensi.
Adapun secara
sederhana, manusia seutuhnya didefinisikan sebagai manusia yang memiliki life
balance, sebuah kehidupan yang seimbang dan harmonis di keempat area kehidupan
: yaitu kehidupan pribadi, kehidupan kerja atau professional, kehidupan keluarga
dan kehidupan sosial. Dan ada empat kebutuhan dasar yang juga sekaligus
merupakan indikator tingkat keberhasilan dari setiap area kehidupan, yaitu
kebutuhan tingkat fisik, mental, sosial dan spiritual.
Pada
umumnya setiap proses kerja di mulai dari tingkat paling bawah, yaitu tingkat
fisik. Hal-hal yang difokuskan pada tingkat fisik berupa: uang, waktu, tenaga.
Hasil yang didapat pada tingkat fisik berbentuk materi. Jika ukuran
keberhasilan dalam pekerjaan hanya menggunakan ukuran fisik atau materi,
keberhasilan akan sangat terbatas.
Tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi diukur pada tingkat mental (peningkatan
pengetahuan yang significant), sosial (membangun kerjasama sinergistik di dalam
team) dan tingkatan yang tertinggi yaitu tingkat spiritual (mencapai kesuksesan
bersama dan memberikan manfaat bagi banyak orang – dalam jangka panjang).
Berdasarkan
empat tingkat kebutuhan di atas, Steven Covey dalam bukunya Building a Highly
Effective Family membagi arti sukses dalam tiga tingkatan, yaitu:
1. Survival
– keberhasilan tingkat fisik.
2. Success
– keberhasilan tingkat fisik, mental & sosial.
3.
Significant
– keberhasilan di keempat tingkat : fisik, mental, sosial & spiritual.
Bill
Gates pemilik Microsoft yang merupakan orang terkaya di dunia saat ini
menyatakan: ‘jika saya bekerja untuk uang, maka saya telah pensiun dua puluh tahun
yang lalu’.
Dengan
pembahasan di atas, menjadi manusia seutuhnya dicapai melalui Kehidupan yang
Seimbang dan Harmonis. Hal ini dapat tercapai dengan menciptakan tujuan (GOAL)
di masing-masing area kehidupan dan di keempat tingkat kebutuhan, dengan
membuat rencana (PLAN) dan mengatur aktifitas kehidupan sehari-hari (PROGRAM)
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Salah
satu faktor pendorong yang penting adalah:
1.
Percaya diri (Believe in Yourself)
2.
Laksanakan rencana-rencana untuk mencapai sasaran (Execute your Goals).
3.
Dan laksanakan dengan sepenuh hati (Transform your Energy)
Rhonda
Byrne dalam The Secret menambahkan bahwa cara kita membuat keinginan dan
rencana (ask), keyakinan bahwa yang kita inginkan akan tercapai (believe) dan
bersyukur seolah-olah yang diinginkan telah tercapai (receive) akan membantu
tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Dan untuk menjadi Manusia Seutuhnya kita
hanya perlu fokus untuk merubah satu orang, yaitu diri sendiri. Belajar untuk
terus berubah dan memperbaiki diri.
Jika
Anda ingin Membuat Dunia Menjadi Tempat yang Lebih Baik,
Lihatlah ke dalam Diri Anda, dan Buat Perubahan. Mari kita lihat ke dalam diri
kita dan buat perubahan. Mari menjadi insan yang lebih baik, menjadi Manusia
Seutuhnya.
1.2 Peranan Pendidikan
A. Peranan Pendidikan dalam
Pembangunan
Pembangunan merupakan proses yang
berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk
aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan
kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan
tersebut peranan pendidikan amatlah strategis. John C. Bock, dalam Education
and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan
tersebut sebagai :
1.
Memasyarakatkan
ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa,
2.
Mempersiapkan
tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan
sosial, dan
3.
Untuk
meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi
politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam
pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil
kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan
paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan
kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki
pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat,
lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama
mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap
modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti
menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya
dalam pembangunan.
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma
Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a)
mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara umum, meningkatkan
kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki
kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh
karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas
secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
B.
Peranan
Pendidikan dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia
Tujuan
pembangunan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berkeadilan dan berdaya saing maju dan sejahtera dalam wadah negara
kesatuan republik indonesia yang didukung oleh manusia yang sehat, mandiri dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Dari tujuan
tersebut tercermin bahwa sebagai titik sentral pembangunan adalah pemberdayaan
sumber daya manusia termasuk tenaga kerja, baik sebagai sasaran pembangunan
maupun sebagai pelaku pembangunan. Dengan demikian, pembangunan ketenagakerjaan
merupakan salah satu aspek pendukung keberhasilan pembangunan nasional.
Sehubungan hal
tersebut di atas pengembangan SDM di Indonesia dilakukan melalui tiga jalur
utama, yaitu pendidikan, pelatihan dan pengembangan karir di tempat kerja.
Jalur
pendidikan merupakan tulang punggung pengembangan SDM yang dimulai dari tingkat
dasar sampai perguruan tinggi. Sementara itu, jalur pelatihan dan pengembangan
karir di tempat kerja merupakan jalur suplemen dan komplemen terhadap
pendidikan.
Arah
pembangunan SDM di indonesia ditujukan pada pengembangan kualitas SDM secara
komprehensif meliputi aspek kepribadian dan sikap mental, penguasaan ilmu dan
teknologi, serta profesionalisme dan kompetensi yang ke semuanya dijiwai oleh
nilai-nilai religius sesuai dengan agamanya. Dengan kata lain, pengembangan SDM
di Indonesia meliputi pengembangan kecerdasan akal (IQ), kecerdasan sosial (EQ)
dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam rangka
pengembangan SDM di indonesia, banyak tantangan yang harus dihadapi. Tantangan
pertama adalah jumlah penduduk yang besar, yaitu sekitar 216 juta jiwa.
Tantangan kedua adalah luasnya wilayah indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau
dengan penyebaran penduduk yang tidak merata. Tantangan ketiga adalah mobilitas
penduduk yang arus besarnya justru lebih banyak ke pulau Jawa dan ke kota-kota
besar.
Berbagai
tantangan seperti itu, memerlukan konsep, strategi dan kebijakan yang tepat
agar pengembangan SDM di Indonesia dapat mencapai sasaran yang tepat secara
efektif dan efisien. Hal ini penting dilakukan karena peningkatan kualitas SDM
Indonesia tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing di dalam
maupun diluar negeri, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan dan
pemerataan penghasilan bagi masyarakat.
C.
Peranan Pendidikan dalam Pembangunan Karakter Bangsa
Pendidikan
kebangsaan bila dilihat dari kacamata pertahanan sebuah negara, dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu pendidikan militer dan non militer. Di negara maju
seperti Jepang, mereka menerapkan pertahanan rakyat semesta atau wajib militer.
Dalam wajib militer ini tidak hanya diberikan pelatihan fisik saja namun
diberikan juga pendidikan bela negara yang menanamkan pembentukan karakter
sebuah bangsa.
Pendidikan dan
pertahanan sebuah bangsa selalu berkaitan, karena dengan pendidikan kebangsaan
yang baik akan tercipta suatu kebhinekaan, dimana hal tersebut akan menjadi
modal pertahanan sebuah negara. Setiap percikan budaya merupakan bagian dari
ke-Indonesiaan untuk mengisi ulang jati diri bangsa Indonesia.
Selain itu, kita
harus dapat menjaga nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, termasuk bahasa. Hal
ini menjadi penting karena bahasa sebagai suatu proses pertama transformasi
nilai-nilai karakter bangsa. Diharapkan dengan pengamalan budaya ini dapat
menyaring persepsi dan pandangan-pandangan yang mengikis karakter.
D.
Peranan Pendidikan Bagi
Kemajuan Suatu Bangsa
Pendidikan
adalah salah satu diantara sekian banyak pilar kesuksesan sebuah negara dalam
upaya meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Peranan pendidikan
merupakan hal penting bagi proses peningkatan kemampuan dan daya saing suatu
bangsa di mata dunia. Keterbelakangan edukasi seringkali menjadi hambatan
serius dalam proses pembangunan masyarakat.
Peranan pendidikan bukan hanya berkutat kepada peningkatan perekonomian saja. Dalam banyak
kasus, pendidikan yang terintegrasi dengan nilai-nilai moral akan mampu
membentuk sumber daya manusia yang unggul dengan tetap memiliki harkat dan
martabat sebagai manusia yang berbudaya.
Secara umum
kita mengenal lembaga pendidikan ada tiga macam, yaitu pendidikan formal,
informal dan nonformal. Ketiganya adalah satu paket sukses yang mampu membentuk
karakter anak bangsa yang tangguh dan tetap berkepribadian dengan ciri khas
bangsanya. Pendidikan keluarga memegang peran vital dalam mengajarkan
pengalaman-pengalaman hidup yang berharga bagi masa depan anak didik di
kemudian hari.
Perpaduan pendidikan
akademis dan non-akademis efeknya akan kita rasakan dalam beberapa
tahun ke depan. Para sarjana bukan hanya berani dan terampil maju ke depan
dalam berkompetisi dengan warga negara lain, tapi juga bisa mempraktekkan
karakter luhur bangsa Indonesia dengan ciri khas Pancasila yang menjadi ruh
bangsa.
E.
Peranan Pendidikan dalam
Mewujudkan Mobilitas Sosial
Pendidikan dalam kaitannya dengan mobilitas sosial harus mampu untuk
mengubah mainstrem peserta didik akan realitas sosialnya. Pendidikan yang tepat
untuk mengubah paradigma ini adalah pendidikan kritis yang pernah digulirkan
oleh Paulo Freire. Sebab, pendidikan kritis mengajarkan kita selalu
memperhatikan kepada kelas-kelas yang terdapat di dalam masyakarakat dan berupaya
memberi kesempatan yang sama bagi kelas-kelas sosial tersebut untuk memperoleh
pendidikan.
Disini fungsi pendidikan bukan lagi hanya sekedar usaha sadar yang
berkelanjutan. Akan tetapi sudah merupakan sebuah alat untuk melakukan perubahan
dalam masyarakat. Pendidikan harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta
didik tentang realitas sosial, analisa sosial dan cara melakukan mobilitas
sosial.
Orang bisa mendebat balik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami
mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika
bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Di banyak negara berkembang lain
mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di negara seperti Indonesia,
korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi
alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Cengkeraman kapitalisme nampaknya begitu kental dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Sehingga pendidikan merupakan akses yang sangat penting – jika tidak
satu satunya – untuk mencapai mobilitas sosial; tetapi kaum miskin tidak dapat
menjangkau akses tersebut, karena mahalnya biaya.
2.1 Pengertian Pendidikan dalam UU No. 20 Tahun 2003
Definisi pendidikan dalam UU tentang sistem pendidikan No. 20 tahun 2003
:
“Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Berdasarkan definisi di atas, kita
menemukan 3 (tiga) pokok pikiran utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1)
usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3)
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat
ketiga pokok pikiran tersebut.
1. Usaha sadar dan
terencana.
Pendidikan
sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah
proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual).
Oleh karena itu, di setiap level manapun, kegiatan pendidikan harus
disadari dan direncanakan, baik dalam tataran nasional
(makroskopik), regional/provinsi dan kabupaten kota (messoskopik),
institusional/sekolah (mikroskopik) maupun operasional (proses
pembelajaran oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran
(pendidikan dalam arti terbatas), pada dasarnya setiap kegiatan
pembelajaran pun harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana
diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007.
Menurut Permediknas ini bahwa perencanaan proses pembelajaran
meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang
memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar
(KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar,
alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil
belajar, dan sumber belajar.
2. Mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi
dirinya
Pada
pokok pikiran yang kedua ini kita melihat adanya pengerucutan istilah pendidikan menjadi
pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan
lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan).
Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran
kedua ini, kita menangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah
pendidikan yang bercorak pengembangan (developmental)
dan humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak
pembentukan yang bergaya behavioristik. Selain itu, kita juga
melihat ada dua kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan suasana belajar, dan (b) mewujudkan proses
pembelajaran.
a. Mewujudkan
suasana belajar
Berbicara
tentang mewujudkan suasana pembelajaran, tidak dapat dilepaskan dari
upaya menciptakan lingkungan belajar, diantaranya mencakup:
(a) lingkungan fisik, seperti: bangunan sekolah, ruang kelas, ruang
perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK, taman sekolah dan
lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan sosio-psikologis (iklim dan budaya
belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja sama, ekspektasi prestasi,
kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan dan aspek-aspek sosio–emosional
lainnya yang memungkinkan peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar.
Baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, keduanya didesan
agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensinya.
Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, di sini tampak jelas bahwa
keterampilan guru dalam mengelola kelas (classroom management)
menjadi amat penting. Dan di sini pula, tampak bahwa peran guru lebih
diutamakan sebagai fasilitator belajar siswa .
b. Mewujudkan
proses pembelajaran
Upaya
mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan untuk menciptakan kondisi
dan pra kondisi agar siswa belajar, sedangkan proses pembelajaran
lebih mengutamakan pada upaya bagaimana mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan
guru, maka guru dituntut untuk dapat mengelola pembelajaran (learning
management), yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian pembelajaran (lihat Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan sebagai agen pembelajaran
(Lihat penjelasan PP 19 tahun 2005), tetapi dalam hal ini akan lebih baik
menggunakan istilah manajer pembelajaran, dimana guru
bertindak sebagai seorang planner,
organizer dan evaluator pembelajaran).
Sama
seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran, proses pembelajaran pun
seyogyanya didesain agar peserta didik dapat secara aktif
mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, dengan mengedepankan
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered)
dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning),
ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator belajar.
3. Memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok
pikiran yang ketiga ini, selain merupakan bagian dari definisi pendidikan
sekaligus menggambarkan pula tujuan pendidikan nasional kita
, yang menurut hemat saya sudah demikian lengkap. Di sana tertera
tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan
sosial.
Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan
pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi
pendidikan yang mencari keseimbangan diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika
belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter, dengan melihat
pokok pikiran yang ketiga dari definisi pendidikan ini maka
sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah
sesuatu yang baru.
Selanjutnya
tujuan-tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan
di bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan dioperasionalkan melalui
tujuan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dalam proses
pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan pada tataran operasional
memiliki arti yang strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan
uraian di atas, kita melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang
tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya tidak hanya sekedar
menggambarkan apa pendidikan itu, tetapi memiliki makna dan implikasi
yang luas tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa
peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang
ingin dicapai oleh pendidikan.
Selain
itu, dalam UU No. 20 tahun 2003 ini telah terjelaskan mengenai gambaran manusia
Indonesia seutuhnya. Yakni manusia yang diharapkan dapat memiliki sebuah kehidupan
yang seimbang dan harmonis dalam dimensi ketuhanan, pribadi dan sosial
(keluarga, lingkungan kerja atau professional). Juga dibutuhkan empat kebutuhan
dasar, yaitu kebutuhan tingkat fisik, mental, sosial dan spiritual. Sehingga
manusia itu dapat memiliki ketiga potensi, baik akal,
jasmani maupun kerohanian yang seimbang. Maka terlahirlah manusia yang
mandiri dan dapat memberikan peranan dalam kehidupan bermasyarakat yang
ditandai dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah
kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas.